Salurkan Infaq Anda untuk PEMBANGUNAN GEDUNG MADRASAH DINIYAH MUHAMMADIYAH SIDOMULYO KEC.ANGGANA KAB.KUKAR melalui: BANK BRI UNIT ANGGANA No. Rek. 4565.01.003179.53.3 a.n. PIMPINAN CABANG MUHAMMADIYAH ANGGANA

SEJARAH MUHAMMADIYAH

Pada tanggal 8 Dzulhiijah 1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912 Miladiyah, oleh almarhum KHA. Dahlan didirikan suatu persyarikatan sebagai "gerakan Islam" dengan nama "MUHAMMADIYAH" yang disusun dengan Majelis-Majelisnya, mengikuti peredaran zaman serta berdasarkan "syura" yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan atau Muktamar. Kesemuanya itu perlu untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw., guna mendapat karunia dan ridla-Nya di dunia dan akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah, sehingga merupakan: "Suatu negara yang indah, bersih, suci dan makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun". Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan ummat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga "Jannatun Na'im" dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim.


lazada

Sabtu, Mei 15, 2010

Tauhid di Hati Lelaki Buta dan Patah Hidungnya

Tarbawi Edisi 2l3, 22 Oktober 2009
Tauhid di Hati Lelaki Buta dan Patah Hidungnya
Oleh: Ustd. Ahmad Zairofi AM

Usianya sudah tua. Matanya buta. Wajahnya rusak. Hidungnya patah. Di
majelis Khalifah Walid bin Abdul Malik di Damaskus, hari itu, ia hadir
untuk sebuah pesan: kesadaran bertauhid, bahwa Allah benar-benar Maha
Kuasa.
Di sudut lain ada sosok terhormat. Keponakan Rasuulullah, Urwah bin
Zubair. Ibunya adalah Asma' binti Abu Bakar, saudari Aisyah binti Abu
Bakar. Dalam keadaan berkaki satu, hari itu, ia juga menghadirkan sebuah
pesan: kesadaran bertauhid, bahwa Allah benar-benar Maha Kuasa.

Dalam perjalanannya menghadap khalifah dari Madinah ke Syria, Urwah
terkena penyakit parah pada kakinya. Tak ada jalan lain kecuali harus
diiamputasi. Begitu tersadar setelah pingsan karena dipotong kakinya, ia
harus menerima kabar lain, satu dari ketujuh anaknya meninggal. Ketika
Khalifah memberikan ucapan belasungkawa, Urwah menjaawab, "Aku diberi
tujuh anak, diambil satu. Aku diberi dua kaki dan dua tangan, diambil
satu. Sungguh, bila Allah menguji, betapa ia dalam waktu yang lama telah
memberi kenyamanan. Bila ia mengambil, betapa dalam waktu yang lama ia
telah memberi. Aku berrharap, bisa berkumpul di surga kelak dengan
apa-apa yang telah Allah ambil."

Sepertinya Urwah ingin menjelaskan keyakinan hatinya, bahwa apa yang
disisakan oleh Allah, jauh lebih banyak dari apa yang Ia ambil. Anaknya
meninggal satu, masih ada enam. Bahwa kelapangan yang diberikan oleh
Allah, jauh lebih luas dari kesempitan yang Ia ujikan. Ia masih punya
dua tangan dan satu kaki.

Hari itu, dua orang yang shalih, yang sama-sama menyandang cobaan tidak
ringan, duduk dalam satu majelis, untuk sebuah pesan: kesadaran
bertauhid, bahwa Allah sungguh-sungguh berkuasa atas segala hamba-Nya.
Tetapi bersama kuasa-Nya juga ada kasih sayang-Nya.

"Apa yang membuat keadaan engkau seperti ini?" Tanya Urwah kepada lelaki
tua yang buta, yang rusak wajahnya, dan patah hidungnya itu.

"Dulu aku tinggal di suatu kampung. Tidak ada di kampung itu orang yang
kaya kecuali aku. Tidak ada yang lebih banyak hartanya, kekayaan
halalnya, juga keluarganya yang melebihi diriku. Lalu datanglah banjir
di malam hari. Sekejap banjir itu melenyapkan keluargaku. Hingga pagi
matahari terbit, aku tidak lagi memiliki apa-apa kecuali anakku yang
masih kecil dan seekor unta. Tiba-tiba unta itu lari dan aku ingin
sekali menangkapnya. Belum jauh aku mengejar, anakku yang masih kecil
terdengar menangis keras. Aku membalik. Temyata anak itu sudah
dicabik-cabik oleh serigala. Aku tidak bisa menyelamatkan anakku. Ia
tewas. Maka aku lari mengejar untaku. Tiba-tiba ia menyepak wajahku,
melukai wajahku, mematahkan hidungku, dan membuatku buta."

Urwah bertanya, "Bagaimana perasaan engkau saat itu?"

"Aku hanya mengatakan, Ya Allah segala puji hanya milik- Mu, Engkau
masih menyisakan untukku hati yang subur dan lisan yang banyak
berdzikir," jawab lelaki itu.

Lelaki tua berhati subur itu, adalah cermin bagi Urwah bin Zubair. Tapi
Urwah bin Zubair juga cermin bagi lelaki itu. Hidup pada akhimya
hannyalah pandang memandang, pantul memantul, untuk kita saling
bercermin. Pada semua potret yang terpampang dalam layar hidup tempat
kita saling mengaca itu, ada pasang surut kesadaran Utama kita:
kesadaran bertauhid.

Kesadaran bertauhid merupakan puncak dari seluruh pengakuan kita akan
siapa diri kita. Bahwa Allah saja Yang Maha Kuasa. Yang membuat kita
ada. Memberi kita nafas, memberi kita hidup, tapi tidak benar-benar
memberi kita kuasa sepenuhnya. Bahkan tubuh yang kita gunakan untuk
menikmati, bukan milik kita sendiri. Kita memakai tapi tak pernah bisa
menguasai. Dalam maknanya yang benar tentang semua itu, kita kemudian
bisa merasakan di dasar hati yang paling dalam, bahwa pada akhirnya,
kita hanyalah manusia.

Ini yang disebut dengan hidup yang berpusar dan berpusat pada Allah.
Kita memusarkan segala sikap dan tindakan kita ke sana. Ke dalam
kesadaran akan kuasa Allah. Dengan segala sifat dan asma-Nya yang Mulia.

Enam detik gempa di Padang adalah derita panjang. Saat itu dan sesudah
itu. Ratusan orang hilang belum ditemukan. Tertimbun tanah dan
reruntuhan bangunan. Enam detik dalam kua Allah bisa mengubah banyak
hal. Meluluhlantakan kota Padang dan sekitarnya. Tetapi enam detik jauh
lebih lama dari waktu yang dipakai Allah untuk berkata 'Kun" (jadilah).
Maka menyadari betapa Allah Maha Kuasa adalah keniscayaan yang harus
terus menerus kita perbaharui.

Kesadaran bertauhid punya ujiannya yang banyak. Yang paling sering
adalah kelalaian dan kelengahan. Kita bukannya tidak tahu, tapi kita
sering lalai, untuk terus dan terus berada dalam kesadaran penuh, betapa
Allah Maha Kuasa. Kesadaran bertauhid harus kita peroleh dari dua mata
air. Pertama dari penjelasan dalil yang mengajarkan kepada kita
makna-makna eksistensi ketuhanan Allah dan segala konsekuensinya. Mata
air pertama ini merupakan pembimbing utama. Sebab kita memerlukan wahyu
sebagai petunjuk jalan yang benar. Dengan bimbingan wahyu kita tahu
bagaimana beriman kepada Allah. Bersandar, memohon, berharap dengan
penuh, meminta dengan jujur kepada-Nya.

Melalui ayat Al-Qur'an kita menyadari, bahwa semua yang ada di alam
semesta ini ada dalam kuasa-Nya. Allah berfirman, "Dan Dialah yang
meneciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di
waktu Dia mengaatakan: 'Jadilah, lalu terjadilah', dan di tangan-Nyalah
segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib
dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui."

Mata air kedua adalah penghayatan atas realitas. Dalam bahasa lain
disebut dengan ayat kauni. Mata air kedua ini kita peroleh dengan
banyak-banyak merenungkan, memikirkan, dan menghayati tanda-tanda
kehidupan yang ada di alam semesta ini. Seperti penjelasan Allah, "Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al Qyr'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?"

Seringkali kita lemah dalam menimba dua mata air itu. Jarangnya kita
membaca AI-Qur'an mungkin sama dengan jarangnya kita menghayati ayat
kauniyah . Padahal, di dalam ayat AI-Qur'an Allah berfirman menjelaskan
kuasa-Nya, dan di ranah kauniyah Allah membuktikan kuasa-Nya.

Cara kita memperolah kesadaran berrtauhid juga punya dua jalan. Pertama
kesadaran kumulatif. Kedua, kesadaran reaktif. Kesadaran kumulatif
adalah kesadaran yang kita tambahkan ke dalam diri kita hari demi hari,
saat demi saat, dengan peristiwa-peristiwa kecil yang kita jalani
sehari-hari. Setiap kali kita memasuki hari baru, misalnya, dengan penuh
jernih hati kita menambahkan rasa syukur kita kepada Allah. Bahwa masih
ada hidup yang terberikan. Dalam sesuap nasi yang kita santap, atau
seteguk air yang membasahi keronggkongan, kita terus merasakan karunia
dan syukur kepada Allah. Begitu seterusnya. Bila malam tiba, dalam lelah
yang tak beraturan, kita bersyukur, bahwa kesempatan istirahat itu masih
diberikan.

Kesadaran reaktif, adalah kesadaran yang kita peroleh dari sebuah
peristiwa besar atau sangat besar yang tidak setiap saat terjadi, yang
diberikan Allah keepada kita. Kesadaran reaktif ini bisa terrjadi dalam
bentuk musibah yang sangat mengerikan, dengan korban yang sangat
menyedihkan.

Semua kita berduka untuk para korban bencana di Sumatera. Dalam kadar
yang berbeda, semua kita pasti memiliki reaksi kesadaran bertauhid.
Bahwa semua ini terjadi atas kuasa Allah. Kesadaran kumulatif bisa kita
lakukan secara sukarela, tetapi kesadaran reaktif tidak bisa terhindari.
Suka atau tidak ia akan hadir dalam hati kecil kita, sebagai reaksi atas
ketidakberdayaan kita.

Kesadaran bertauhid secara kumulatif seringkali tidak kita tumbuhkan
secara baik. Akibatnya, terlalu banyak dari kita yang setiap hari
mengalami defisit kesadaran bertauhid. Defisit kesadaran adalah kondisi
dimana jumlah satuan-satuan peristiwa yang menambah kesadaran bertauhid
kita dengan satuan-satuan peristiwa yang menambah kelalaian kita tidak
sebanding.

Dengan kata lain, jumlah peristiwa yang menambah kelalaian kita lebih
banyak dari jumlah peristiwa yang menambah kesadaran kita.

Karenanya, bencana, musibah, ujian besar, dan peristiwa-peristiwa
dahsyat yang mengguncang jiwa, secara tidak langsung merupakan cara
Allah menambal defisit kesadaran bertauhid kita. Kesadaran reaktif kita
akan mengisi kekurangan kesadaran kumuIatif kita. Tapi itu bukan tanpa
duka dan air mata. Itu sebabnya kita tidak boleh memohon bencana. Tetapi
dalam pengertian lain, bila bencana itu oleh Allah juga disebut lantaran
ulah kita sendiri, ada andil dosa kita sendiri, maka di balik itu ada
pesan sangat penting: jangan sampai kesadaran kumulatif kita dalam
bertauhid mengalami defisit. Agar tidak sampai harus ditambal dengan
kesadaran reaktif. Sebab kesadaran kumulatif bisa kita lakukan dengan
sukarela, bisa kita hasilkan dari hal-hal yang menyenangkan, dalam
satuan-satuan peristiwa kecil yang tidak terlampau mengguncang batin.
Sebaliknya, dalam kesadaran reaktif akibat takdir-takdir besar berupa
musibah, bencana, atau malapetaka, selalu ada tangis, korban, kematian,
juga keterpisahan dengan orang-orang tercinta untuk selamanya.

Bagaimana dengan yang dialami Urwah dan lelaki tua dan buta itu? Pada
diri Urwah bin Zubair, atau lelaki tua yang buta, rusak wajahnya dan
patah hidungnya itu, kita bisa belajar kesempurnaan kesadaraan. Sebab
bagi keduanya, keesadaran reaktif hanya penyempurna bagi kesadaran
kumulatif mereka yang tak pernah mengalami defisit. Maka kita bisa
menyaksikan ungkapan kata- kata keduanya dalam menyikapi semua musibah
yang mereka alami. Kata-kata itu, kalimat-kalimat itu, adalah mutiara
kesempurnaan dalam bertauhid.

Maka, mengertilah kita. Bahwa kita hanyalah satu dari tiga golongan.
Pertama, di antara kita ada yang mengalami defisit kesadaran bertauhid.
Kedua, ada yang impas setelah ditambal sana sini termasuk dengan
bencana. Ketiga, mereka yang memiliki surplus kesadaran, seperti yang
dicontohkan oleh Urwah bin Zubair dan lelaki tua itu. Maka, mengertilah
kita. Bahwa dalam seebuah bencana yang menelan banyak jiwa, bisa jadi
itu cara Allah menambal defisit kesadaran sebagian mereka, tapi juga
cara Allah meningkatkan dan menyempurnakan kesadaran bertauhid sebagian
yang lainnnya.

"Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya langit itu patuh. Dan apabila bumi diratakan. Dan memuntahkan
apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada Tuhannya,
dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia akan
mengetahui akibat perbuatannya). Hai manusia, sesungguhnya kamu telah
bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan
menemui-Nya."

Hidup pada akhimya adalah pandang memandang di antara kita, pantul
memantul, untuk kita saling bercermin. Pada semua potret yang terpampang
dalam layar hidup tempat kita saling mengaca itu, ada pasang surut
kesadaran utama kita: kesadaran bertauhid. Bahwa Allah saja Yang Maha
Kuasa. Dalam maknanya yang benar, positif, dan optimistik tentang semua
itu, kita kemudian bisa merasakan di dasar hati yang paling dalam, bahwa
pada akhimya, kita hanyalah manusia.

Seperti Urwah bin Zubair yang secara rela memilih sikapnya. Juga lelaki
tua, buta, dan patah hidungnya itu yang telah mengambil jalan menuju
surplus kesadarannya, kita bisa melihat ke dalam diri sendiri, seperti
apa sejujumya kesadaran bertauhid kita.[]